Kamis, 16 Januari 2014

dakwah pada masyarakat plural

DAKWAH ISLAM PADA MASYARAKAT PLURAL
I.              PENDAHULUAN
Pluralitas merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini, Allah menciptakan alam ini di atas pluralitas dalam sebuah kerangka kesatuan. Isu pluralitas sudah setua manusia dan selamanya akan tetap ada hingga kehidupan berakhir, hanya saja bisa terus menerus berubah tergantung perubahan zaman. Pluralitas pada hakikatnya merupakan realitas kehidupan itu sendiri, yang tidak bisa dihindari dan ditolak. Karena pluralitas merupakan sunatullah, maka eksistensi atau keberadaannya harus diakui oleh setiap manusia. Namun pengakuan ini dalam tataran realitas belum sepenuhnya seiring dengan pengakuan secara teoritik dan kendala-kendala masih sering dijumpai di lapangan.
Seiring dengan perkembangan zaman, pluralitas yang bermakna heterogen (keberagaman) telah bergeser makna menjadi Equality (kesamaan). Dan makna ini tidak dapat diterima jika yang disamakan adalah Agama Islam. Indonesia, sebagai Negara kepulauan telah memiliki berbagai kekayaan kebudayaan dan tradisi, begitu pula dengan afiliasi agama yang berbeda-beda. Hampir semua agama besar dunia tumbuh dan berkembang di negara ini, dengan konteks historisitas yang berbeda-beda pula.[1] Keberagaman budaya, tradisi dan agama ini menjadi tantangan tersendiri bagi umat Islam dalam berda’wah di Indonesia. Dengan keberagaman tersebut maka seorang da’i harus mempunyai metode tersendiri dalam mengahadapi masyarakat yang plural.

II.           PEMBAHASAN
A.      Pengertian Plural/Pluralisme
Pluralisme (bahasa Inggris: pluralism), terdiri dari dua kata plural (beragam) dan isme (paham) yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham. Dalam diskursus filsafat, pluralisme adalah sistem berpikir yang dilawankan dengan monisme. Pluralisme beranggapan bahwa hakikat sesuatu adalah plural (banyak), sedangkan monisme beranggapan bahwa hakekat sesuatu adalah tunggal.[2] Pluralisme, dalam masyarakat Barat digunakan untuk menyatakan adanya otonomi yang dimiliki oleh banyak pihak.
Secara etimologi, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu "pluralisme" dan "agama". Dalam bahasa Arab diterjemahkan "al-ta'addudiyyah al diniyyah"6 dan dalam bahasa Inggris "religious pluralism". Oleh karena istilah pluralisme agama berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti "jama'" atau lebih dari satu. Pluralism dalam bahasa Inggris menurut Anis Malik Thoha (2005: 11) mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis; berarti system pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu system yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat kerakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut.[3]
Sedang dalam istilah agama, pluralisme agama merupakan hasil dari upaya pemberiansuatu landasan bagi teologi Kristiani agar toleran terhadap agama non-Kristen.[4] Para penganut pluralis dalam beragama menegaskan bahwa semua agama umumnya menawarkan jalan keselamatan  bagi umat manusia dan semuanya mengandung kebenaran religius. Jadi, Pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.

B.       Pengertian Dakwah
Secara harfiah dakwah diartikan ajakan, panggilan, seruan, dan permohonan. Sehingga dakwah seringkali diartikan ajakan, panggilan, atau seruan, yang dilakukan seseorang kepada orang lain.[5] Atau juga dapat didefinisikan dengan upaya untuk merubah manusia baik perasaan, pemikiran, maupun tingkah lakunya dari jahiliyah ke Islam, atau dari yang sudah Islam menjadi lebih kuat lagi Islamnya. Jadi, dengan definisi “usaha mengubah keadaan” tersebut menjelaskan, bahwa dakwah bukan sekedar seruan kepada orang lain agar melakukan kebaikan, melainkan harus disertai dengan usaha untuk melakukan perubahan. Proses yang dilakukan dalam merubah kondisi harus bersifat inqilabiyyah, yaitu perubahan yang dimulai dari asas, berupa perubahan aqidah, bukan perubahan ishlahiyyah yang hanya sekedar perubahan dari kulitnya saja tanpa menyentuh asasnya (aqidah).
Sebagai bagian dari prinsip perjuangan dalam Islam, dakwah memiliki konstribusi yang cukup besar dalam memperluas ajaran Islam, sehingga Islam menjadi agama yang dianut dan diyakini oleh berbagai bangsa diseluruh pelosok dunia.

C.       Ciri-ciri Masyarakat Plural
Suatu masyarakat disebut majemuk (plural) apabila masyarakat tersebut secara struktural memiliki subkebudayaan-subkebudayaan yang bersifat diverse. Masyarakat yang demikian ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai atau konsensus yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat, oleh berkembangnya sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan para anggotanya masing-masing secara tegar dalam bentuknya yang relatif murni, serta oleh sering tumbuhnya konflik-konflik sosial, atau setidak-tidaknya oleh kurangnya integrasi dan saling ketergantungan di antara kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya.  Sehubungan dengan keadaan yang demikian, Clifford Geertz menjelaskan bahwa masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam subsistem-subsistem yang masing-masing terikat ke dalam ikatan-ikatan yang bersifat primordial.[6]
Dengan cara yang lebih singkat, Pierre L. van den Berghe menyebutkan beberapa karakteristik masyarakat majemuk, sebagai berikut:
1.    terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda satu sama lain.
2.    memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer.
3.    kurang mampu mengembangkan konsensus di antara para anggota-anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
4.    secara relatif sering kali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
5.    secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi, serta
6.    adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain.
Apabila mengikuti pandangan para penganut teori fungsionalisme-struktural, sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas landasan dua hal, yaitu: (1) konsensus di antara sebagian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental, dan (2) anggota-anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affiliation), sehingga tumbuh cross-cutting loyalities, loyalitas yang silang-menyilang dari para anggota masyarakat terhadap kelompok-kelompok atau satuan-satuan sosial di mana mereka menjadi anggotanya.

D.      Kondisi Sosial-Budaya pada Masyarakat Plural
Telah sejak lama masyarakat Indonesia memperoleh berbagai pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui para pedagang asing. Pengaruh yang pertama kali menyentuh masyarakat Indonesia adalah agama Hindu dan Budha dari India sejak kurang lebih empat ratus tahun sebelum masehi.
Pengaruh kebudayaan Islam mulai memasuki masyarakat Indonesia sejak abad ke-13, akan tetapi baru benar-benar mengalami proses penyebaran yang luas pada abad ke-15.  Pengaruh Islam sangat kuat terutama pada daerah-daerah di mana Hindu dan Budha tidak tertanam cukup kuat. Karena keadaan yang demikian, cara beragama yang sinkretik sangat terasakan, kepercayaan-kepercayaan animisme, dinamisme bercampur dengan kepercayaan agama Hindu, Budha, dan Islam. Pengaruh reformasi agama Islam yang memasuki Indonesia pada permulaan abad ke-17 dan terutama akhir abad ke-19 ternyata tidak berhasil mengubah keadaan tersebut, kecuali memperkuat pengaruh agama Islam di daerah-daerah yang sebelumnya memang telah merupakan daerah pengaruh agama Islam. Sementara itu, Bali masih tetap merupakan daerah  agama Hindu.
Pengaruh kebudayaan Barat mulai memasuki masyarakat Indonesia melalui kedatangan Bangsa Portugis pada permulaan abad ke-16.  Kedatangan mereka ke Indonesia tertarik oleh kekayaan rempah-rempah di daerah Kepulauan Maluku, suatu jenis barang dagangan yang sedang laku keras di Eropa pada waktu itu. Kegiatan missionaris yang menyertai kegiatan perdagangan mereka, dengan segera berhasil menanamkan pengaruh agama Katholik di daerah tersebut. Ketika bangsa Belanda berhasil mendesak bangsa Portugis ke luar dari daerah-daerah tersebut pada kira-kira tahun 1600-an, maka pengaruh agama Katholik pun segera digantikan pula oleh pengaruh agama Kristen Protestan. Namun demikian, sikap bangsa Belanda yang lebih lunak di dalam soal agama apabila dibandingkan dengan bangsa Portugis, telah mengakibatkan pengaruh agama Kristen Protestan hanya mampu memasuki daerah-daerah yang sebelumnya tidak cukup kuat dipengaruhi oleh agama Islam dan Hindu.
Hasil final dari semua pengaruh kebudayaan tersebut kita jumpai dalam bentuk pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Di luar Jawa, hasilnya kita lihat pada timbulnya golongan Islam modernis terutama di daerah-daerah yang strategis di dalam jalur perdagangan internasional pada waktu masuknya reformasi agama Islam, golongan Islam konservatif-tradisional di daerah pedalaman-pedalaman, dan golongan Kristen (Katholik dan Protestan) di daerah-daerah Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Tapanuli, dan sedikit di daerah Kalimantan Tengah; serta golongan Hindu Bali (Hindu Dharma) terutama di Bali.
Di Pulau Jawa dijumpai golongan Islam modernis terutama di daerah-daerah pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan kebudayaan pantainya, serta sebagian besar daerah Jawa Barat, golongan Islam konservatif-tradisional di daerah-daerah pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta golongan Kristen yang tersebar di hampir setiap daerah perkotaan Jawa.[7]
Dalam prespektif ilmu sosial, pluralisme yang meniscayakan adanya diversitas dalam masyarakat memiliki dua wajah, yaitu konsensus dan konflik, sebagaimana digagas Dahrendorf, bahwa teori konsensus mengandaikan bahwa masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda itu akan survive (bertahan hidup) karena para anggotanya menyapakati hal-hal tertentu sebagai aturan bersama yang harus ditaati, sedangkan teori konflik justru memandang sebaliknya.[8]
Di dalam masyarakat majemuk terdapat potensi konflik di antara kelompok-kelompok atau golongan-golongan sosial yang ada. Hubungan yang demikian menimbulkan masalah dalam proses integrasi sosial dalam masyarakat majemuk. Lahirlah faham multikulturalisme yang lebih didasarkan pada pandangan tentang relativisme kebudayaan. Bahwa pada dasarnya setiap kelompok atau golongan sosial, baik itu sukubangsa, agama, ras, ataupun aliran memiliki ukuran-ukuran dan nilai-nilainya sendiri tentang suatu hal, meskipun tidak tertutup kemungkinan ditemukakannya common platform atau kesamaan di antara kelompok atau golongan-golongan yang saling berbeda itu.[9] Pluralitas agama dalam konteks masyarakat Indonesia adalah realitas, karena Indonesia dihuni oleh sekelompok manusia yang memiliki SARA (sukubangsa, agama, ras, atau pun aliran/golongan-golongan) yang berbeda-beda.

E.       Metode Dakwah Islam pada Masyarakat Plural
Dalam berda’wah seorang da’i harus memiliki akhlak yang menjadi modal pertama seorang da’i, ini dikarenakan dia akan menjadi orang yang akan ditiru, beberapa pokok akhlak yang harus dimiliki seorang da’i, sebagai berikut:
a)      Ihlas, yaitu sikap yang menujukan segala sesuatu, baik itu perbuatan, perkataan, pembimbingan dan pengajaran kepada umat karena Allah semata, tidak ada sekutu dan tuhanmelainkan-Dia.
b)      Sopan, yaitu sikap lemah lembut dalam perkataan dan perbuatan.
c)      Jujur, yaitu sikar mengkabarkan apa yang sebenarnya tanpa dikurangi atau dilebihkan. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah saw. “ sesungguhnya kejujuran menunjukan kepada kebenaran, dan kebenaran menunjukan kepada surga…” ( Muttafaqun A’laih).
d)     Sabar, yaitu sikap menahan diri dari putus asa, menahan lisan dari keluhan.

Indonesia sebagai Negara yang majmuk dengan berbagai budaya, tradisi dan agama telah menjadikan Indonesia tidak dapat terlepas dari isu pluralisme yang sedang berkembang dewasa ini. Perkembangan isu pluralisme yang begitu pesat ini menjadi tantangan bagi para da’i dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia tanpa harus merendahkan budaya, tradisi maupun agama yang lain di Indonesia.
Hal ini mengacu salah satu pada keputusan menteri agama tahun 1978 mengenai larangan-larangan dalam berdakwah agama yaitu; menghina sesuatu golongan politik, social, agama, dan kepercayaan. Budaya Indonesia lebih dahulu ada, dan telah menjadi darah daging setiap suku, bahkan untuk beberapa kelompok kebudayaan, mereka rela berkorban demi mempertahankan budaya asli, hal ini terbukti sering terjadinya pertentangan antar etnis hanya dikarenakan perbedaan budaya.
Masalah berdakwah dalam masyarakat plural sekarang menjadi sesuatu yang cukup sulit, jika tidak ingin dikatakan sangat sulit karena dalam misi da’wah ini selain harus mempunyai akhlaqiyatu-d-da’iyah seorang da’i juga dituntut untuk memahami kondisi sosio-budaya masyarakat yang menjadi objeknya, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman ataupun pelecehan terhadap kelompok masyarakat tertentu dan menimbulkanpertikaian.
Dalam berdakwah dengan kondisi yang plural, terdapat beberapa contoh yang sukses menyebarkan agama Islam di Indonesia yaitu para walisanga. Melalui pendekatan budaya yang mereka ciptakan telah mampu menpengaruhi dan membawa masyarakat Jawa untuk memeluk agama Islam, seperti Sunan Kalijaga yang telah menciptakan gending Asmaradana, dan Sunan Kudus dengan gending Kanthil. Melalui pendekatan seperti ini masyarakat kala itu tidak merasa aneh dengan kehadiran Islam yang mengajarkan sesuatu yang baru dan berbeda dengan keyakinan mereka, bahkan mereka merasa bahwa Islam lebih sempurna dari keyakinan yang mereka anut, sehingga mereka dengan sendirinya masuk Islam.

III.        KESIMPULAN
Masyarakat plural, merupakan masyarakat yang di dalamnya terdapat sekelompok orang yang memiliki SARA yang berbeda-beda, sehingga sering terjadi konflik yang bisa menimbulkan kecemburuan sosial antar umat. Dalam menyampaikan dakwah pada masyarakat plural, seorang da’i juga harus pandai-pandai menempatkan kapan waktu berdakwah yang tepat sehingga idak menimbulkan permasalah yang menyinggung agama lain, terutama non-Islam. Dengan rasa yang ikhlas, dengan sikap yang sopan, kesabaran, dan kejujuran, itu akan mempermudah kita untuk menyampaikan dakwah Islam, supaya tidak menyinggung agama selain Islam. Dalam kehidupan bersosial pada masyarakat plural juga dituntuk untuk saling menghormati dan menghargai baik kepercayaan maupun aktivitas mereka dalam kehidupan sehari-hari, hingga akhirnya bisa mencapai kerukunan antar umat beragama.

IV.        PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat pemakalah sampaikan. Pemakalah menyadari bahwa dalam penyusunan makalah yang telah pemakalah buat ini masih ada kesalahan dan kekurangan baik yang disengaja maupun tidak. Untuk itu pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang  bersifat membangun untuk mencapai kesempurnaan dalam pembuatan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan pelajaran kepada kita semua. Amin.....


[1] Umi Sumbulah, Islam “Radikal” dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial Aktivis Hizb al-Tahrir Dan Majelis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi, (Badan LITBANG dan DIKLAT Kementerian Agama RI, 2010), hal. 51.
[2] Ibid, hal. 46.
[4] Muhammad Legenhausen, Satu Agama atau Banyak Agama (Kajian tentang Liberalisme & Pluralisme Agama), (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1999), hal. 19.
[5] Komarudin, dkk, Dakwah & Konseling Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2008), hal. 1.
[8] Sumbulah, Op.cit, hal. 52.

1 komentar:

  1. Alhamdulillah, sy terbantu untuk memahami Dakwah & budaya plural.

    BalasHapus