DAKWAH ISLAM PADA MASYARAKAT PLURAL
I.
PENDAHULUAN
Pluralitas
merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini, Allah menciptakan alam ini di
atas pluralitas dalam sebuah kerangka kesatuan. Isu pluralitas sudah setua
manusia dan selamanya akan tetap ada hingga kehidupan berakhir, hanya saja bisa
terus menerus berubah tergantung perubahan zaman. Pluralitas pada hakikatnya
merupakan realitas kehidupan itu sendiri, yang tidak bisa dihindari dan ditolak.
Karena pluralitas merupakan sunatullah, maka eksistensi atau keberadaannya
harus diakui oleh setiap manusia. Namun pengakuan ini dalam tataran realitas
belum sepenuhnya seiring dengan pengakuan secara teoritik dan kendala-kendala
masih sering dijumpai di lapangan.
Seiring
dengan perkembangan zaman, pluralitas yang bermakna heterogen (keberagaman)
telah bergeser makna menjadi Equality (kesamaan). Dan makna ini tidak dapat
diterima jika yang disamakan adalah Agama Islam. Indonesia, sebagai Negara
kepulauan telah memiliki berbagai kekayaan kebudayaan dan tradisi, begitu pula
dengan afiliasi agama yang berbeda-beda. Hampir semua agama besar dunia tumbuh
dan berkembang di negara ini, dengan konteks historisitas yang berbeda-beda
pula.[1] Keberagaman
budaya, tradisi dan agama ini menjadi tantangan tersendiri bagi umat Islam
dalam berda’wah di Indonesia. Dengan keberagaman tersebut maka seorang da’i
harus mempunyai metode tersendiri dalam mengahadapi masyarakat yang plural.
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Plural/Pluralisme
Pluralisme (bahasa Inggris: pluralism),
terdiri dari dua kata plural (beragam) dan isme (paham)
yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham. Dalam diskursus
filsafat, pluralisme adalah sistem berpikir yang dilawankan dengan monisme.
Pluralisme beranggapan bahwa hakikat sesuatu adalah plural (banyak), sedangkan
monisme beranggapan bahwa hakekat sesuatu adalah tunggal.[2]
Pluralisme, dalam masyarakat Barat digunakan untuk menyatakan adanya otonomi
yang dimiliki oleh banyak pihak.
Secara etimologi, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu
"pluralisme" dan "agama". Dalam bahasa Arab diterjemahkan
"al-ta'addudiyyah al diniyyah"6 dan dalam bahasa Inggris
"religious pluralism". Oleh karena istilah pluralisme agama berasal
dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk
kepada kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti "jama'" atau lebih
dari satu. Pluralism dalam bahasa Inggris menurut Anis Malik Thoha (2005: 11)
mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk
orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii)
memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan
maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis; berarti system pemikiran
yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu.
Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu system yang mengakui
koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun
partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat
kerakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut.[3]
Sedang dalam istilah agama, pluralisme agama merupakan hasil dari
upaya pemberiansuatu landasan bagi teologi Kristiani agar toleran terhadap
agama non-Kristen.[4]
Para penganut pluralis dalam beragama menegaskan bahwa semua agama umumnya
menawarkan jalan keselamatan bagi umat
manusia dan semuanya mengandung kebenaran religius. Jadi, Pluralisme
adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang
menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup
bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.
B.
Pengertian
Dakwah
Secara harfiah dakwah diartikan ajakan, panggilan, seruan, dan
permohonan. Sehingga dakwah seringkali diartikan ajakan, panggilan, atau
seruan, yang dilakukan seseorang kepada orang lain.[5]
Atau juga dapat didefinisikan dengan upaya untuk merubah manusia baik perasaan,
pemikiran, maupun tingkah lakunya dari jahiliyah ke Islam, atau dari yang sudah
Islam menjadi lebih kuat lagi Islamnya. Jadi,
dengan definisi “usaha mengubah keadaan” tersebut menjelaskan, bahwa dakwah
bukan sekedar seruan kepada orang lain agar melakukan kebaikan, melainkan harus
disertai dengan usaha untuk melakukan perubahan. Proses yang dilakukan dalam
merubah kondisi harus bersifat inqilabiyyah, yaitu perubahan yang dimulai dari
asas, berupa perubahan aqidah, bukan perubahan ishlahiyyah yang hanya sekedar
perubahan dari kulitnya saja tanpa menyentuh asasnya (aqidah).
Sebagai bagian dari prinsip perjuangan dalam Islam, dakwah memiliki
konstribusi yang cukup besar dalam memperluas ajaran Islam, sehingga Islam
menjadi agama yang dianut dan diyakini oleh berbagai bangsa diseluruh pelosok
dunia.
C.
Ciri-ciri
Masyarakat Plural
Suatu masyarakat disebut majemuk
(plural) apabila masyarakat tersebut secara struktural memiliki
subkebudayaan-subkebudayaan yang bersifat diverse. Masyarakat yang
demikian ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai atau konsensus yang
disepakati oleh seluruh anggota masyarakat, oleh berkembangnya sistem nilai
dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan
para anggotanya masing-masing secara tegar dalam bentuknya yang relatif murni,
serta oleh sering tumbuhnya konflik-konflik sosial, atau setidak-tidaknya oleh
kurangnya integrasi dan saling ketergantungan di antara kesatuan-kesatuan sosial
yang menjadi bagian-bagiannya. Sehubungan dengan keadaan yang demikian,
Clifford Geertz menjelaskan bahwa masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang
terbagi-bagi ke dalam subsistem-subsistem yang masing-masing terikat ke dalam
ikatan-ikatan yang bersifat primordial.[6]
Dengan cara yang lebih singkat,
Pierre L. van den Berghe menyebutkan beberapa karakteristik masyarakat majemuk,
sebagai berikut:
1.
terjadinya segmentasi ke dalam
kelompok-kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda satu sama
lain.
2.
memiliki struktur sosial yang
terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer.
3.
kurang mampu mengembangkan konsensus
di antara para anggota-anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
4.
secara relatif sering kali mengalami
konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
5.
secara relatif integrasi sosial
tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang
ekonomi, serta
6.
adanya dominasi politik oleh suatu
kelompok atas kelompok yang lain.
Apabila mengikuti pandangan para penganut teori fungsionalisme-struktural,
sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas landasan dua hal, yaitu: (1)
konsensus di antara sebagian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai
kemasyarakatan yang bersifat fundamental, dan (2) anggota-anggota masyarakat
sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting
affiliation), sehingga tumbuh cross-cutting loyalities, loyalitas
yang silang-menyilang dari para anggota masyarakat terhadap kelompok-kelompok
atau satuan-satuan sosial di mana mereka menjadi anggotanya.
D.
Kondisi
Sosial-Budaya pada Masyarakat Plural
Telah sejak lama masyarakat Indonesia memperoleh berbagai pengaruh
kebudayaan bangsa lain melalui para pedagang asing. Pengaruh yang pertama kali
menyentuh masyarakat Indonesia adalah agama Hindu dan Budha dari India sejak
kurang lebih empat ratus tahun sebelum masehi.
Pengaruh kebudayaan Islam mulai memasuki masyarakat Indonesia sejak abad
ke-13, akan tetapi baru benar-benar mengalami proses penyebaran yang luas pada
abad ke-15. Pengaruh Islam sangat kuat terutama pada daerah-daerah di
mana Hindu dan Budha tidak tertanam cukup kuat. Karena keadaan yang demikian,
cara beragama yang sinkretik sangat terasakan, kepercayaan-kepercayaan animisme,
dinamisme bercampur dengan kepercayaan agama Hindu, Budha, dan Islam. Pengaruh
reformasi agama Islam yang memasuki Indonesia pada permulaan abad ke-17 dan
terutama akhir abad ke-19 ternyata tidak berhasil mengubah keadaan tersebut,
kecuali memperkuat pengaruh agama Islam di daerah-daerah yang sebelumnya memang
telah merupakan daerah pengaruh agama Islam. Sementara itu, Bali masih tetap
merupakan daerah agama Hindu.
Pengaruh kebudayaan Barat mulai memasuki masyarakat Indonesia melalui
kedatangan Bangsa Portugis pada permulaan abad ke-16. Kedatangan mereka
ke Indonesia tertarik oleh kekayaan rempah-rempah di daerah Kepulauan Maluku,
suatu jenis barang dagangan yang sedang laku keras di Eropa pada waktu itu. Kegiatan
missionaris yang menyertai kegiatan perdagangan mereka, dengan segera berhasil
menanamkan pengaruh agama Katholik di daerah tersebut. Ketika bangsa Belanda
berhasil mendesak bangsa Portugis ke luar dari daerah-daerah tersebut pada
kira-kira tahun 1600-an, maka pengaruh agama Katholik pun segera digantikan
pula oleh pengaruh agama Kristen Protestan. Namun demikian, sikap bangsa
Belanda yang lebih lunak di dalam soal agama apabila dibandingkan dengan bangsa
Portugis, telah mengakibatkan pengaruh agama Kristen Protestan hanya mampu
memasuki daerah-daerah yang sebelumnya tidak cukup kuat dipengaruhi oleh agama
Islam dan Hindu.
Hasil final dari semua pengaruh kebudayaan tersebut kita jumpai dalam
bentuk pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Di luar Jawa, hasilnya
kita lihat pada timbulnya golongan Islam modernis terutama di daerah-daerah
yang strategis di dalam jalur perdagangan internasional pada waktu masuknya
reformasi agama Islam, golongan Islam konservatif-tradisional di daerah
pedalaman-pedalaman, dan golongan Kristen (Katholik dan Protestan) di
daerah-daerah Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Tapanuli, dan
sedikit di daerah Kalimantan Tengah; serta golongan Hindu Bali (Hindu Dharma)
terutama di Bali.
Di Pulau Jawa dijumpai golongan Islam modernis terutama di daerah-daerah
pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan kebudayaan pantainya, serta
sebagian besar daerah Jawa Barat, golongan Islam konservatif-tradisional di
daerah-daerah pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta golongan Kristen yang
tersebar di hampir setiap daerah perkotaan Jawa.[7]
Dalam prespektif ilmu sosial, pluralisme yang meniscayakan adanya
diversitas dalam masyarakat memiliki dua wajah, yaitu konsensus dan konflik,
sebagaimana digagas Dahrendorf, bahwa teori konsensus mengandaikan bahwa masyarakat
yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda itu akan survive
(bertahan hidup) karena para anggotanya menyapakati hal-hal tertentu sebagai
aturan bersama yang harus ditaati, sedangkan teori konflik justru memandang
sebaliknya.[8]
Di dalam masyarakat majemuk terdapat
potensi konflik di antara kelompok-kelompok atau golongan-golongan sosial yang
ada. Hubungan yang demikian menimbulkan masalah dalam proses integrasi sosial
dalam masyarakat majemuk. Lahirlah faham multikulturalisme yang lebih didasarkan
pada pandangan tentang relativisme kebudayaan. Bahwa pada dasarnya setiap
kelompok atau golongan sosial, baik itu sukubangsa, agama, ras, ataupun aliran
memiliki ukuran-ukuran dan nilai-nilainya sendiri tentang suatu hal, meskipun
tidak tertutup kemungkinan ditemukakannya common platform atau kesamaan
di antara kelompok atau golongan-golongan yang saling berbeda itu.[9] Pluralitas
agama dalam konteks masyarakat Indonesia adalah realitas, karena Indonesia
dihuni oleh sekelompok manusia yang memiliki SARA (sukubangsa, agama, ras, atau
pun aliran/golongan-golongan) yang berbeda-beda.
E.
Metode
Dakwah Islam pada Masyarakat Plural
Dalam
berda’wah seorang da’i harus memiliki akhlak yang menjadi modal pertama seorang
da’i, ini dikarenakan dia akan menjadi orang yang akan ditiru, beberapa pokok
akhlak yang harus dimiliki seorang da’i, sebagai berikut:
a)
Ihlas,
yaitu sikap yang menujukan segala sesuatu, baik itu perbuatan, perkataan,
pembimbingan dan pengajaran kepada umat karena Allah semata, tidak ada sekutu
dan tuhanmelainkan-Dia.
b)
Sopan,
yaitu sikap lemah lembut dalam perkataan dan perbuatan.
c)
Jujur,
yaitu sikar mengkabarkan apa yang sebenarnya tanpa dikurangi atau dilebihkan.
Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah saw. “ sesungguhnya kejujuran menunjukan
kepada kebenaran, dan kebenaran menunjukan kepada surga…” ( Muttafaqun A’laih).
d)
Sabar,
yaitu sikap menahan diri dari putus asa, menahan lisan dari keluhan.
Indonesia sebagai Negara yang majmuk dengan berbagai budaya,
tradisi dan agama telah menjadikan Indonesia tidak dapat terlepas dari isu
pluralisme yang sedang berkembang dewasa ini. Perkembangan isu pluralisme yang
begitu pesat ini menjadi tantangan bagi para da’i dalam menyebarkan agama Islam
di Indonesia tanpa harus merendahkan budaya, tradisi maupun agama yang lain di
Indonesia.
Hal ini mengacu salah satu pada keputusan menteri agama tahun 1978 mengenai larangan-larangan dalam berdakwah agama yaitu; menghina sesuatu golongan politik, social, agama, dan kepercayaan. Budaya Indonesia lebih dahulu ada, dan telah menjadi darah daging setiap suku, bahkan untuk beberapa kelompok kebudayaan, mereka rela berkorban demi mempertahankan budaya asli, hal ini terbukti sering terjadinya pertentangan antar etnis hanya dikarenakan perbedaan budaya.
Hal ini mengacu salah satu pada keputusan menteri agama tahun 1978 mengenai larangan-larangan dalam berdakwah agama yaitu; menghina sesuatu golongan politik, social, agama, dan kepercayaan. Budaya Indonesia lebih dahulu ada, dan telah menjadi darah daging setiap suku, bahkan untuk beberapa kelompok kebudayaan, mereka rela berkorban demi mempertahankan budaya asli, hal ini terbukti sering terjadinya pertentangan antar etnis hanya dikarenakan perbedaan budaya.
Masalah berdakwah dalam masyarakat plural sekarang menjadi sesuatu
yang cukup sulit, jika tidak ingin dikatakan sangat sulit karena dalam misi
da’wah ini selain harus mempunyai akhlaqiyatu-d-da’iyah seorang da’i juga
dituntut untuk memahami kondisi sosio-budaya masyarakat yang menjadi objeknya,
sehingga tidak terjadi kesalahpahaman ataupun pelecehan terhadap kelompok masyarakat
tertentu dan menimbulkanpertikaian.
Dalam berdakwah dengan kondisi yang plural, terdapat beberapa
contoh yang sukses menyebarkan agama Islam di Indonesia yaitu para walisanga.
Melalui pendekatan budaya yang mereka ciptakan telah mampu menpengaruhi dan
membawa masyarakat Jawa untuk memeluk agama Islam, seperti Sunan Kalijaga yang
telah menciptakan gending Asmaradana, dan Sunan Kudus dengan gending Kanthil.
Melalui pendekatan seperti ini masyarakat kala itu tidak merasa aneh dengan
kehadiran Islam yang mengajarkan sesuatu yang baru dan berbeda dengan keyakinan
mereka, bahkan mereka merasa bahwa Islam lebih sempurna dari keyakinan yang
mereka anut, sehingga mereka dengan sendirinya masuk Islam.
III.
KESIMPULAN
Masyarakat
plural, merupakan masyarakat yang di dalamnya terdapat sekelompok orang yang
memiliki SARA yang berbeda-beda, sehingga sering terjadi konflik yang bisa
menimbulkan kecemburuan sosial antar umat. Dalam menyampaikan dakwah pada
masyarakat plural, seorang da’i juga harus pandai-pandai menempatkan kapan
waktu berdakwah yang tepat sehingga idak menimbulkan permasalah yang
menyinggung agama lain, terutama non-Islam. Dengan rasa yang ikhlas, dengan sikap
yang sopan, kesabaran, dan kejujuran, itu akan mempermudah kita untuk
menyampaikan dakwah Islam, supaya tidak menyinggung agama selain Islam. Dalam
kehidupan bersosial pada masyarakat plural juga dituntuk untuk saling
menghormati dan menghargai baik kepercayaan maupun aktivitas mereka dalam
kehidupan sehari-hari, hingga akhirnya bisa mencapai kerukunan antar umat
beragama.
IV.
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang dapat pemakalah sampaikan. Pemakalah menyadari bahwa dalam penyusunan makalah
yang telah pemakalah buat ini masih ada kesalahan dan
kekurangan baik yang disengaja maupun tidak. Untuk itu pemakalah mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun untuk mencapai kesempurnaan
dalam pembuatan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat dan pelajaran kepada kita semua. Amin.....
[1] Umi Sumbulah, Islam
“Radikal” dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial Aktivis Hizb al-Tahrir
Dan Majelis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi, (Badan
LITBANG dan DIKLAT Kementerian Agama RI, 2010), hal. 51.
[2] Ibid, hal.
46.
[4] Muhammad
Legenhausen, Satu Agama atau Banyak Agama (Kajian tentang Liberalisme &
Pluralisme Agama), (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1999), hal. 19.
[5] Komarudin,
dkk, Dakwah & Konseling Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2008),
hal. 1.
[8] Sumbulah, Op.cit,
hal. 52.
Alhamdulillah, sy terbantu untuk memahami Dakwah & budaya plural.
BalasHapus