AYAT-AYAT AL-QUR’AN DAN HADITS
TENTANG GENDER
I.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an mengungkapkan perbedaann mendasar
antara laki-laki dan permpuan, tetapi masih perlu diteliti lagi. Gender dapat
diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat
dari segi nilai dan perilaku. Secara umum, gender digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Hal
ini berbeda dengan sex yang secara umum digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi, sehingga laki-laki dan perempuan tidak bisa disamakan secara total, karena
pada akhirnya apabila hal penyamaan secara total itu terjadi maka akhirnya akan
merugikan pihak perempuan. Namun dalam Islam permasalah gender menjadi
berbelit-belit dengan melihat teks dalam al-Qur’an dan Hadits.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimanakah
asal usul penciptaan laki-laki dan perempuan?
B.
Bagaimanakah
peranan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan?
C.
Seperti
apakah bentuk kesetaraan antara laki-laki dan perempuan?
D.
Apakah
perempuan tidak mempunyai hak dalam kepemimpinan?
III.
PEMBAHASAN
A.
Asal Usul Penciptaan Laki-laki dan Perempuan
Mengenai hal penciptaan pria dan wanita,
sesungguhnya dalam al-Qur’an telah menyatakan bahwa sesungguhnya pria dan
wanita sama dalam asal penciptaannya sebagaimana firman Allah:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6Ï%u
Artinya: “Hai sekalian
manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang
diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya
Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’: 1)
Kemudian ayat ini diartikan dalam sebuah
hadits riwayat Bukhori Muslim, yakni:
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ وَمُوسَى بْنُ حِزَامٍ قَالَا حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ
عَنْ زَائِدَةَ عَنْ مَيْسَرَةَ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ
وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ
كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهلَمْيَزَلْأَعْوَجَفَاسْتَوْصُوابِالنِّسَاء
Artinya: “Dari Abi Hurairah: Nabi bersabda: berwasiatlah tentang perempuan,
karena sesungguhnya mereka tercipta dari tulang, dan utlang yang paling bengkok
adalah yang paling tertinggi. Jika engkau berusaha meluruskan berarti engkau
merusaknya, jika dibiarkan akan tetap bengkok.”
Hadis
tersebut, walaupun sanad-nya shahih, tetapi memiliki matan yang
berbeda-beda dan sulit untuk ditentukan mana matan yang benar.
Namun demikian apabila ditempatkan dalam konteksnya secara tepat dan dipahami
secara utuh dari keseluruhan matan yang ada-tidak hanya parsial
kalimat perkalimat atau matan permatan, maka hadits-hadits
tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan penciptaan awal perempuan.
Hadis-hadis itu berisi pesan Nabi kepada kaum laki-laki waktu itu untuk berlaku
baik kepada isteri-isteri mereka atau kepada kaum perempuan secara umum. Pesan
Nabi tersebut salah satu manifestasi dari semangat ajaran Islam yang hendak
menempatkan laki-laki dan perempuan secara sejajar.[1]
Berdasarkan
hadits tersebut muncul berbagai penafsiran di kalangan jumhur ulama,
berdasarkan surat an-Nisa’ ayat 1, ulama tafsir mengartikan bahwa wanita itu
diciptakan dari tulang rusuk Adam, dan mengartikan kata nafs mengacu
pada Adam, ada pula yang mengacu pada istri Adam, yaitu Hawa. Kemudian para
mufassir masa lalu membuat kesan negatif terhadap wanita bahwa wanita itu
berasal dari laki-laki. Akan tetapi hal ini disangkal oleh pakar tafsir
kontemporer yang tidak sependapat dengan para mufassirin, mereka berpendapat
berdasarkan surat al-Qiyamah ayat 37-39, yaitu: “Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim)
(37). Kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya dan
menyempurnakannya(38). Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang laki-laki dan
perempuan(39).”
Allah juga
menjelaskan dalam surat al-Hujurat ayat 13: “Hai
manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan.”
Dijelaskan pula
bahwa Allah lah pencipta jiwa manusia baik laki-laki maupun perempuan, dengan
penciptaan yang sama tanpa ada yang bengkok di dalamnya.[2]
Dalam beberapa ayat Allah berfirman: “Dan
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya).”
(As-Syams: 7), “sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (At-Tin: 4).
Allah telah
menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam bentuk tanggung jawab
terhadap apa yang terjadi pada fase penciptaan pertama.
B.
Peran Laki-Laki dan Perempuan dalam Kehidupan
Peranan wanita dan laki-laki adalah sama, hal ini terbukti dalam
firman Allah: “Barang siapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki dan perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An-Nahl: 97), “Sesungguhnya
Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik
laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian
yang lain.” (Al-Imran: 195).
Berdasarkan ayat tersebut, kadar kewajiban laki-laki dan perempuan
untuk mempraktikkannya sama, kecuali bila diimplementasikan lain. Menuntut ilmu
adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan. Begitu pula
beramal saleh, juga merupakan kewajiban bagi muslim laki-laki dan perempuan.
Oleh karena itu, tidak benar jika sesungguhnya kaum perempuan tidak boleh
keluar rumah untuk beramal dan merasakan pendidikan. Sebagaimana dalam firman
Allah:
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt/ âä!$uÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 crâßDù't Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3ZßJø9$# cqßJÉ)ãur no4qn=¢Á9$# cqè?÷sãur no4qx.¨9$# cqãèÏÜãur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNßgçHxq÷zy ª!$# 3 ¨bÎ) ©!$# îÍtã ÒOÅ3ym ÇÐÊÈ
Artinya:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki
dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (Qs.
At-Taubah: 71)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa peran dan
tanggungjawab perempuan dalam Islam adalah bertanggungjawab khusus yang
berkaitan dengan urusan ibadah dan pribadi mereka, dan bertanggungjawab umum
yaitu melaksanakan dakwah dan melibatkan diri dalam usaha amal kebajikan dan
memberi bimbingan sosial di samping melakukan usaha-usah mencegah kemungkaran.
Kedua tanggungjawab ini diberikan kepada kaum perempuan tanpa dibedakan dengan
kaum laki-laki.[3]
Begitu pula dalam bidang pendidikan, kerap kali perempuan dianggap tidak pantas
berpendidikan tinggi. Islam mengajarkan kepada setiap orang tetang persamaan,
persamaan yang dimaksudkan ialah bahwa perempuan tidak hanya bekerja di dalam
rumah tangga saja, melainkan mereka juga berhak mengenyam pendidikan yang
setara dengan kaum laki-laki, sebagaimana dalam suatu hadits Nabi saw, yaitu:
طلب العلم فريضة على
كل مسلم
Artinya:
“menuntut
ilmu itu, wajib bagi setiap orang Islam.” (Ibn Majah)
Dalam hal ini, menuntut ilmu menjadi
tanggungjawab baik dari laki-laki maupun perempuan supaya mereka dapat
melakanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya dengan
pengetahuan yang dimilikinya.
Kemudian
dalam hal keluarga. Keluarga merupakan unit terbentuknya masyarakat terutama
dalam pandangan Islam. Sebagaimana dalam firman Allah: “dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa rosul
sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (Ar-Ra’du: 38). Rosulullah saw bersabda: “pernikahan adalah sunnahku. Karena itu, barang siapa
yang tidak mengamalkan sunahku, maka ia bukan termasuk golonganku (umatku).” Namun hal ini disalahgunakan para laki-laki dalam
hal pernikahan, mereka sering melakukan poligami terhadap istri-istrinya
berdasarkan surat An-nisa’ ayat 3: “maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu
senangi:dua, tiga, atau empat.”
Berdasarkan
ayat tersebut, sering kita tidak memperhatikan ayat-ayat sebelum dan
sesudahnya, bahwa Allah Allah menjelaskan dalam surat tersebut: “kemudian, jika kamu takut tidak akan berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja.”
(An-Nisa’ ayat 3). Hal ini pun bertepatan dengan penjelasan terhadap wanita
yatim, bukan pada posisi pologami itu sendiri.
Ath-Thabari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubair, Qatadah,
As-Subdi dan lainnya, “Ada suatu kelompok yang takut berbuat sewenang-wenang
terhadap harta anak-anak yatim, namun tidak takut berbuat lalim terhadap
irtsi-istri mereka. Kemudian, ada yang mengatakan kepada mereka, “sebagaimana
kalian takut bilamana tidak dapat berbuat adil terhadap istri-istri kalian.”[4] Maka berlaku adillah
terhadap istri dan anak-anak, karena mereka juga mempunyai hak di dalam
kehidupan.
C.
Kesetaraan Perempuan dengan
Laki-laki
Kesan yang ditimbulkan dari pemahaman Islam tradisional adalah
kuatnya hegemoni kaum pria terhadap kaum wanita.[5]
Hal ini ditunjukkan dengan institusi poligami yang didominasi kaum laki-laki,
kepemimpinan yang dikhususkan di tangan pria, harga kaum wanita yang setengah
dari harga pria dalam kesaksian, akiqah, dan
warisan.
Gambaran seperti inilah yang sering menjadi target sasaran bagi
gerakan kesetaraan gender yang selalu menuding bahwa Islam memperlakukan kaum
wanita dengan cara yang tidak adil. Merespon isu tetang kesetaraan antara pria dan
wanita, Munawir Sadzali dalam upayanya mengangkat harkat dan martabat wanita
dalam Islam menyatakan bahwa menurut Islam, kedudukan pria dan
wanita itu sama. Dia mendasarkan pernyataan itu dalam al-Qur’an surat
al-Hujurat ayat 13:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya: “Wahai seluruh manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu (terdiri) dari laki-laki dan perempuan, dan
Kami jadikan kamu bebangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertakwa.”
Ayat di atas dijadikan
dasar oleh orang Islam, bahwa Islam mengajarkan prinsip persamaan derajat
berdasarkan kebangsaan, kesukuan, dan keturunan. Dihadapan Allah semua manusia
itu mempunyai kedudukan yang sama antara satu dengan yang lain dan yang
membedakan tingkat antara mereka adalah kadar ketakwaan kepada Allah.
Sebagaimana hadits rosulullah: Dari Abu Hurairah, dia berkata,
Rosulullah bersabda: “orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang
paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik
terhadap istrinya.”
Tokoh lain yang lebih dikenal sebagai mufassir Indonesia
kontemporer, Quraish Shihab juga mengangkat ayat 13 dari surat Al-Hujurat:13
dari surat Al-Hujurat ini ketika membicarakan tentang kedudukan perempuan
diperkuatnya dengan surat Al-Nisa: 1 yang berbicara tentang proses terciptanya
perempuan.
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6Ï%u
Quraish Shihab menunjukkan kecenderungan bahwa penciptaan laki-laki
dan perempuan adalah dari unsur yang sama. Kemudian ia mengemukakan surat
Ali-Imran: 195 sebagai usaha Al-Qur’an untuk mengikis habis semua tanggapan
yang membedakan laki-laki dengan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan.
Secara lebih spesifik Satori menekankan bahwa Islam telah
mengangkat harkat perempuan. Al-Qur’an menegaskan kemanusiaan perempuan dan
kesejajarannya dengan laki-laki (Al-Hujurat: 13); perempuan dan laki-laki
diciptakan dari unsur tanah yang sama dan dari jiwa yang satu. (Al-A’raf: 189);
proses dan fase pembentukan janin laki-laki dan perempuan tidak berbeda (Al:
Qiyamah: 37-39); islam menjamin kebahagiaan di dunia dan akhirat bagi perempuan
bila komitmen dengan iman dan menempuh jalan yang shaleh, seperti halnya dengan
laki-laki. (Al-Nahl: 97); perempuan yang dilakukan perempuan setara dengan apa
yang dilakukan laki-laki. Amal masing-masing dihargai oleh Allah (Ali-Imran :
195); perempuan adalah makhluk yang menyertai laki-laki di dunia dan juga
akhirat (Al-Nisa: 124); ayat-ayat Al-Qur’an berbicara baik pada laki-laki maupun
perempuan.
D.
Kepemimpinan Perempuan dan Laki-laki
Masdar F. Mas’udi menerangkan bahwa Islam
datang di tengah-tengah masyarakat yang secara mendasar memandang rendah kaum
wanita, karena dua asumsi berbeda tapi saling memperkuat. Pertama asumsi
materialistic masyarakat yang menempatkan kaum wanita pada posisi rendah karena
sedikitnya peranan mereka dalam proses produksi dan ekonomi. Kedua, asumsi
teologis yang dianut masyarakat Madinah dipengaruhi oleh ajaran agama yang
mereka anut, perempuan dipandang rendah dibandingkan laki-laki.[6]
Dalam kehidupan nyata masyarakat Islam umumnya
berpegang pada pendapat popular yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh
diangkat sebagai pemimpin. Hal ini disandarkan pada hadits Nabi yang berbunyi:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ
الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ
نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَل اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ
بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا
عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ
امْرَأَة
Artinya : “Dari Bakrah diriwayatkan bahwa ketika Nabi
mendengar bahwasanya Kaisar Persia diganti dengan perempuan maka Nabi bersabda: “Tidak
akan sukses suatu kaum yang dipimpin oleh perempuan.” (Sahih
Bukhari Kitab al-Maghazim, bab kitab al-Nabi ila kisra wa Qaishar no
4073).
Hadits di
atas, menurut Quraish Shihab tidak bersifat umum. Buktinya hadits tersebut
merupakan respon nabi terhadap masyarakat Persia, bukan pada masyarakat pada
umumnya. Disamping itu banyak ayat yang memperbolehkan keterlibatan perempuan
dalam bidang politik, sebagai mana firman Allah:
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt/ âä!$uÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 crâßDù't Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3ZßJø9$# cqßJÉ)ãur no4qn=¢Á9$# cqè?÷sãur no4qx.¨9$# cqãèÏÜãur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNßgçHxq÷zy ª!$# 3 ¨bÎ) ©!$# îÍtã ÒOÅ3ym ÇÐÊÈ
Artinya: “dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”
Secara umum laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama
dalam setiap aspek kehidupn, seperti seruan untuk berbuat yang ma’ruf dan
menjauhkan yang mungkar.[7]
Ha ini diperkuat sebuah hadits:
من لم يهتم بامر المسلمين فليس
منهم
Artinya: “Barang siapa yan tidak memperhatikan kepentingan
(urusan) kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka.”
Hadits tersebut ditujukan kepada laki-laki maupun perempuan
karena latar elakang pendidikannya termasuk dalam bidang politik. Suatu fatwa
sejarah bahwa Aisyah ra. Istri Rosulullah memimpin pasukan dalam perang Jamal
(656 M) melawan khalifah Ali bin Abi Thalib. Keterlibatan Aisyah dalam
peperangan itu menunjukkan partisipasi kaum muslimah dalam bidang politik
praktis sekalipun.
Dari Ibnu ‘umar ra, dari Nabi saw, beliau
bersabda: “setiap orang diantara kalian adalah pemimpin, dan msing-masing
dari kalian bertanggungjawab terhadap apa yang dipimpinnya.seorang penguasa
adalah pemimpin, seorang laki-laki pemimpin bagi seluruh anggota rumahnya,
wanita juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anaknya. Dengan demikian,
masing-masing kalian adalah pemimpin dan masing-masing kalian bertanggungjawab
yang dipimpinnya.”
Berdasarkan hadits tersebut, bahwa
tanggungjawab seorang pemimpin dalam sebuah masyarakat bersifat umum, dan
masing-masing sesuai dengan kemampuannya, karena setiap muslim ibarat berjaga
disetiap lubang yang akan diterobosi, maka mereka akan diserang dari lubang
tersebut.
IV.
KESIMPULAN
Mengenai hal penciptaan pria dan wanita, sesungguhnya dalam
al-Qur’an telah menyatakan bahwa sesungguhnya pria dan wanita sama dalam asal
penciptaanny dan juga Allah telah menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan
dalam bentuk tanggung jawab terhadap apa yang terjadi pada fase penciptaan
pertama.
Peranan
wanita dan laki-laki adalah sama, hal ini terbukti dalam firman Allah: “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki dan
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik.” (An-Nahl: 97),
“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal
diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah
turunan dari sebagian yang lain.”
(Al-Imran: 195).
Ayat
tersebut menjelaskan bahwa peran dan tanggungjawab perempuan dalam Islam adalah
bertanggungjawab khusus yang berkaitan dengan urusan ibadah dan pribadi mereka,
dan bertanggungjawab umum yaitu melaksanakan dakwah dan melibatkan diri dalam
usaha amal kebajikan dan memberi bimbingan sosial di samping melakukan
usaha-usah mencegah kemungkaran. Secara umum laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang
sama dalam setiap aspek kehidupn, seperti seruan untuk berbuat yang ma’ruf dan
menjauhkan yang mungkar.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampikan. Pemakalah menyadari bahwa dalam penyusunan
makalah yang telah pemakalah buat ini masih ada kesalahan dan
kekurangannya. Untuk itu
pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk mencapai kesempurnaan dalam pembuatan makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan pelajaran kepada kita semua.
Amin.......
[1] http://rayhania.abatasa.com/post/detail/14916/kesetaraan-gender-pembahasan-hadits-hadits-misoginis
[2] Muhammada
Haitsam Al-Khayyath, Problematika Muslimah Di Era Modern, (Jakarta:
Erlangga, 2007), hal. 34.
[3] Kamarul Azmi
Jasmi, dkk, Wanita dalam Dakwah dan Pendidikan, (Malaysia: University
Teknologi Malaysia, 2008), hal. 3.
[5] Faisar Ananda
Arfa, Wanita dalam Konsep Islam Modernis, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2004), hal. 100.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar