TEORI DAN PENDEKATAN TERAPI BEHAVIORAL
I.
PENDAHULUAN
Dalam perkembangan dan kehidupan
setiap manusia sangat mungkin timbul berbagai permasalahan. Baik yang dialami
secara individual, kelompok, dalam keluarga, lembaga tertentu atau bahkan
bagian masyarakat secara lebih luas baik yang berhubungan dengan agama ataupun
tidak. Untuk itu ditentukan adanya bimbingan sebagai suatu usaha pemberian
bantuan yang diberikan baik kepada individu maupun kelompok dalam rangka
memecahkan masalah yang dihadapi. Salah satunya dengan Terapi tingkah laku atau terapi behavioral yaitu penerapan aneka
ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar.[1]
Teori menggunakan penerapan yang sistematis, yaitu perubahan tingkah laku
dengan prinsip-prinsip belajar kearah yang lebih adaptif. Perilaku dipandang
respon terhadap stimulasi atau perangsangan ekternal dan internal.[2]
Modifikasi tingkah laku telah memberikan pengaruh yang besar kepada
lapangan pendidikan, terutama pada area pendidikan khusus yang menangani anak-anak
yang memiliki masalah belajar dan tingkah laku. Salah satu aspek yang paling
penting dalam gerakan modifikasi tingkah laku adalah penekananya pada tingkah
laku yang bisa didefinisikan secara operasional, diamanati, dan diukur.
Pendekatan behavioral tidak menguraikan asumsi-asumsi filosofis tentang manusia
secara langsung. Pada dasarnya manusia dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan
social budayanya, begitu pula dengan suatu keyakinan/keagamaan yang dia anut. Untuk
itu pemakalah akan menguraikan teori pendekatan behavioral lebih lanjut pada
pembahasan berikut.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Seperti apakah teori dasar terapi behavioral?
B.
Bagaimana peranan terapi Behavioral terhadap bimbingan konseling
agama?
III.
PEMBAHASAN
A.
Teori Dasar Terapi Behavioral
Behavioral atau behaviorisme adalah suatu pandangan ilmiah tentang
perilaku manusia. Terapi behavioral berasal dari dua arah konsep yakni
Povlovian dari Ivan Pavlov dan Skinnerian dari B.F Skinner.[3] Mula-mula
terapi ini dikembangkan oleh Wolpe (1958) untuk mengulangi (treatment)
neurosis. Neurosis dapat dijelaskan dengan mempelajari perilaku yang tidak
adaktif melalui proses belajar. Dengan kata lain bahwa perilaku yang menyimpang
bersumber dari hasil belajar di lingkungan.
Konstribusi terbesar dari konseling behavioral adalah
diperkenalkannya metode ilmiah dibidang psikoterapi, yaitu bagaimana
memodifikasi perilaku melalui rekayasa lingkungan sehingga terjadi proses
belajar untuk perubahan tingkah laku.
Teori perubahan tingkah laku behaviorisme merupakan proses
perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dengan
respons yang menyebabkan klien mempunyai pengalaman baru. Aplikasinya dalam
pembelajaran adalah bahwa konselor memiliki kemampuan dalam mengelola hubungan
stimulus-respons dalam siatuasi pembelajaran sehingga hasil tingkah laku klien
dapat optimal.[4]
Dasar dari teori terapi behavioral adalah bahwa perilaku dapat dipahami sebagai
hasil kombinasi belajar waktu lalu dalam hubungannya dengan keadaan serupa,
keadaan motivasional sekarang dan efeknya terhadap kepekaan lingkungan, dan
perbedaan-perbedaan biologis baik secara genetik atau karena gangguan fisiologis.
Menurut Skinner bahwa 1) respon tidak perlu selalu ditimbulkan oleh
stimulus, akan tetapi lebih kuat oleh pengaruh reinforcement
(penguatan); 2) lebih menekankan pada studi subjek individual daripada generalisasi kecenderungan kelompok;
3) menekankan pada penciptaan situasi tertentu terhadap terbentuknya perilaku
daripada motivasi.[5]
Terapi tingkah laku berbeda dengan sebagian besar terapi lainnya,
tandanya adalah a) pemusatan perhatian kepada tingkah laku yang tampak atau
spesifik; b) kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment; c)
perumusan prosedur treatment; dan d) penafsiran objetif atas hasil-hasil
terapi.
Terapi tingkah laku tidak berlandaskan pada sekumpulan konsep yang
sistematik, melainkan bahwa kondisi-kondisi yang menjadi penyebab timbulnya
masalah tingkah laku yang diidentifikasi sehingga kondisi-kondisi baru bisa diciptakan
guna memodifikasi tingkah laku.[6]
Masalah terapeutik utama adalah mengisolasi masalah tingkah laku dan kemudian
menciptakan cara-cara untuk mengubahnya.
Pada dasarnya terapi tingkah laku diarahkan pada tujuan-tujuan
memperoleh tingkah laku baru, penghapusan tingkah laku maladaptif, serta
meperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang diinginkan. Terapi tingkah laku mengemasukkan
criteria yang didefinisikan dengan baik bagi perbaikan maupun pernyembuhan,
karena terapi tingkah laku menekankan evaluasi atas keefektifan teknik-teknik
yang digunakan, maka evolusi dan perbaikan yang berkesinambungan atas
prosedur-prosedur treatment menandai proses terapeutik.
B.
Peran terapi Behavioral Terhadap Bimbingan Konseling Agama
Setiap orang menurut Islam, pada dasarnya telah dikaruniai
kecenderungan untuk bertauhid, mengesakan Tuhan yakni Allah SWT. Tegasnya dalam
diri setiap manusia ada kecenderungan untuk meyakini adanya Allah dan beribadah
kepada-Nya.[7]
Kecenderungan tersebut adalah ‘fitrah’, sebagaimana yang dijelaskan dalam
al-Qur’an:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4 w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w
tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
Artinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Kemudian ayat
tersebut dijelaskan dalam hadits Muslim yang artinya: “Setiap orang
dilahirkan ibunya dalam keadaan fitrah, setelah itu ayah-ibunyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Maka jika kedua orang tuanya itu
Muslim, maka (anak) akan menjadi seorang Muslim.” (HR. Muslim)
Dari
kedua dalil tersebut, diketahui bahwa secara kodrati manusia memiliki fitrah
untuk beriman kepada Allah, tetapi Karena faktor lingkungan maka fitrah
tersebut bisa tidak berkembang sebagaimana mestinya, melainkan menyimpang
kearah yang lain.
Menurut
pendapat para ahli jiwa, bahwa yang mengendalikan kelakuan dan tindakan
seseorang adalah kepribadiannya. Kepribadian tumbuh dan terbentuk dari
pengalaman-pengalaman yang dilaluinya sejak lahir. Bahkan mulai dari dalam
kandungan ibunya sudah ada pengaruh terhadap kelakuan si anak dan terhadap
kesehatan mentalnya pada umumnya. Dengan memberikan pengalaman-pengalaman yang
baik, nilai-nilai moral yang tinggi, serta kebiasaan-kebiasaan yang sesuai
dengan ajaran agama sejak lahir, maka semua pengalaman itu akan menjadi bahan dalam
pembinaan kepribadian.[8]
Demikian
dengan bimbingan konseling agama, yaitu membantu klien dalam menyelesaikan
masalahnya yang berkaitan dengan agama yang tekanannya pada upaya kuratif atau
pemecahanan masalah. Salah satunya adalah dengan pendekatan terapi behavioral
yang lebih menekankan pada pemahaman tingkah laku melalui proses belajar.
Adapun proses terapeutik dari behavior adalah sebagai berikut:
1.
Tujuan
Konseling
Tujuan umum dari terapi behavioral adalah
menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasannya adalah
bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari, termasuk tingkah laku yang
maladaptif. Terapi tingkah laku pada hakikatnya terdiri atas proses penghapusan
hasil belajar yang tidak adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar
yang di dalamnya respons-respons yang layak yang belum dipelajari.[9]
Krumboltz dan Thorensen (dikutip dari
Huber & Millman, 1972) telah mengembangkan tiga criteria bagi perumusan
tujuan yang bisa diterima dalam konseling tingkah laku: 1) Tujuan yang
dirumuskan haruslah tujuan yang diinginkan oleh klien, 2) konnselor harus
bersedia membantu klien dalam mencapai tujuan, dan 3) harus terdapat
kemungkinan untuk menaksir sejauh mana klien bisa mencapai tijuannya.[10] Dengan berfokus pada
tingkah laku yang spesifik yang ada pada klien sekarang, konselor membantu
klien menterjemahkan kebingungan yang dialaminya ke dalam suatu tujuan kongkrit
yang mungkin untuk dicapai. Terapi ini ditandai oleh:
-
Fokusnya
pada perilaku yang tampak dan spesifik.
-
Kecermatan
dan penguraian tujuan-tujuan treatmen.
-
Formulasi
prosedur treatment khusus sesuai dengan masalah khusus.
-
Penilaian
objektif mengenai hasil konseling.
2.
Hubungan
Klien dan Konselor
Dalam proses konseling, konselor memegang
peranan aktif dan langsung. Hal ini bertujuan supaya konselor dapat menggunakan
pengetahuan ilmiah untuk menemukan masalah-masalah klien sehingga diharapkan
kepada perubahan perilaku yang baru.
Klien harus mampu berpatisipasi dalam
kegiatan konseling. Ia harus memiliki motivasi untuk berubah, harus bersedia
bekerjasama dalam melakukan aktivitas konseling, baik ketika berlangsungnya
proses konseling maupun di luar proses konseling. Dalam hubungan konselor
dengan klien ada beberapa hal yang harus dilakukan 1) konselor memahami dan
menerima klien. 2) keduanya bekerjasama, 3) konselor memberikan bantuan dalam
arah yang diinginkan klien.[11]
3.
Fungsi
dan Peran Konselor
Terapi behavioral harus memainkan peran
aktif dan direktif dalam pemberian treatment, yakni terapis menrapkan
pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan-pemecahan bagi masalah-masalah pada
kliennya. Terapi behavioral secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, dan
ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalam menentukan
prosedur penyembuhan yang diharapkan dapat mengarah kepada tingkah laku adjustive.
Goodstein (1972) menyebutkan peran konselor sebagai pemberi kekuatan.
Menurutnya, peran konselor adalah menunjang perkembangan tingkah laku yang
secara sosial layak dengan secara sistematis memperkuat jenis tingkah laku
klien.
Satu fungsi penting peran konselor adalah
peran terapis sebagai model bagi klien. Bandura menunjukkan bahwa sebagian
besar proses belajar yang muncul melalui pengalaman langsung juga bisa diperoleh pengamatan terhadap tingkah
laku orang lain.
4.
Tekni-Teknik
Konseling
Dalam kegiatan konseling behavioral tidak
ada suatu teknik konselingpun yang selalu harus digunakan, akan tetapi teknik
yang dirasakan kurang baik dieliminasi dan diganti dengan teknik yang baru.
Adapun teknik-teknik yang digunakan dalam konseling behavioral adalah sebagai
berikut:
1.
Desensitisasi Sistematik
Desensitisasi sistematik adalah teknik yang paling luas digunakan
dalam terapi tingkah laku. Teknik ini digunakan untuk menghapus tingkah laku
yang diperkuat secara negatif, dan ia menyertakan pemunculan tingkah laku atau
respons yang, berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan.
Desensitisasi diarahkan kepada mengajar klien untuk menampilkan suatu respons
yang tidak konsisten dengan kecemasan. Selain itu juga melibatkan teknik
relaksasi.
2.
Terapi Implosif dan Pembanjiran
Stampfl (1975) mengembangkan teknik yang berhubungan dengan teknik pembanjiran ,
yang disebut “Terapi Implosif”. Teori ini berasumsi bahwa tingkah laku
neurotic melibatkan penghindaran terkondisi atas stimulus penghasil
kecemasan. Alasan yang digunakan teknik
ini adalah jika seseorang berulang-ulang dihadapkan pada situasi penghasil kecemasan
dan konsekwensi yang diharapkan tidak muncul, maka kecemasan akan terhapus.
Terapi ini bisa disebut juga dengan suatu metode langsung yang menantang pasien “untuk menatap
mimpi-mimpi buruknya”.
3.
Latihan Asertif
Ditarapkan terutama pada situasi dimana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa
menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar. Di dalam
terapi assertive konselor berusaha memberikan keberanian kepada klien dalam
mengatasi kesulitan terhadap orang lain. Pelaksanaan teknik ini ialah dengan role
playing (bermain peran).[12]
4.
Terapi Aversi
Teknik aversi adalah metode yang dimiliki oleh para behavioris
meskipun digunakan secara luas sebagai metode untuk membawa orang-orang kepada
tingkah laku yang diinginkan. Teknik aversif sering digunakan dalam penanganan
berbagai tingkah laku yang maladaptif.
5.
Pengondisian Operan
Tingkah laku operan adalah tingkah laku yang memancar yang menjadi
cirri organism yang aktif. Ini adalah tingkah laku beroperasi di lingkungan untuk
menghasilkan akibat-akibat. Tingkah laku operan merupakan yang paling berarti dalam kehidupan sehari-hari yang
mencakup membaca, berbicara, berperilaku, dan lain sebagainya.
6.
Perkuatan Positif
Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau
perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul adalah cara yang
ampuh untuk mengubah tingkah laku.
7.
Pembentukan Respons
Dalam pembentukan respons tingkah laku sekarang bertahab diubah
dengan memperkuat unsure-unsur kecil dari tingkah laku baru yang diinginkan
secara berturut-turut sampai mendekati tingkah laku akhir. Pembentukan respons
berwujud pengembangan suatu respons yang pada mulanya tidak terdapat dalam
perbendaharaan tingkah laku individu.
8.
Perkuatan Intermiten
Kekuatan intemiten digunakan secara bervariasi kepada tingkah laku
yang spesifik. Tingkah laku yang dikondisikan oleh perkuatan intermiten pada
umumnya lebih tahan terhadap penghapusan disbanding dengan tingkah laku yang
dikondisikan melalui pemberian perkuatan yang terus menerus.
IV.
KESIMPULAN
Teori perubahan tingkah laku behaviorisme merupakan proses
perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dengan
respons yang menyebabkan klien mempunyai pengalaman baru. Bimbingan
konseling agama, yaitu membantu klien dalam menyelesaikan masalahnya yang
berkaitan dengan agama yang tekanannya pada upaya kuratif atau pemecahanan
masalah. Dengan pendekatan terapi behavioral yang lebih menekankan pada pemahaman
tingkah laku melalui proses belajar, sangat berpengaruh terhadap perilaku
beragama setiap orang, jadi dengan pendekatan ini diharapkan seorang klien
mampu memahami tingkah lakunya dengan cara mempelajari setiap tingkah lakunya
yang berhubungan dengan ajaran-ajaran agama di jalan Allah SWT sehingga bisa
menjadi pribadi yang positif.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat pemakalah
sampikan. Pemakalah menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih ada
kesalahan dan kekurangan. Untuk itu pemakalah mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun untuk mencapai kesempurnaan dalam pembuatan makalah
selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan pelajaran kepada
kita semua. Amin....
[1]Geral
Corey, Teori dan Praktek Konseling Dan Psikoterapi, (Bandung: PT Eresco,
1988), hal. 197.
[2]Sofyan
S. Willis, Konseling Individual Teori dan Praktrek, (Bandung: Alfabeta,
2004), hal. 69.
[4]Farid
Mashudi, Psikologi Konseling, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), hal. 55.
[5]Sofyan
Willis, Konseling Keluarga (Family Counseling), (Bandung: Alfabeta,
2009), hal. 105.
[6]Geral,
Op.cit, hal. 200.
[7]Thohari
Mustamar, Dasar-dasar Konseptual Bimbingan Dan Konseling Islami,
(Yogyakarta: UII Press, 1992), hal. 139.
[8]Nelly
Nurmelly dan Widyaiswara Muda, Perananagamadalambk.pdf. hal. 1.
[9]Corey,
Op.cit, hal. 202-203.
[11]Willis,
Op.cit, hal. 70-71.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar