Kamis, 16 Januari 2014

endekatan Behavioral

TEORI DAN PENDEKATAN TERAPI BEHAVIORAL

I.       PENDAHULUAN
Dalam perkembangan dan kehidupan setiap manusia sangat mungkin timbul berbagai permasalahan. Baik yang dialami secara individual, kelompok, dalam keluarga, lembaga tertentu atau bahkan bagian masyarakat secara lebih luas baik yang berhubungan dengan agama ataupun tidak. Untuk itu ditentukan adanya bimbingan sebagai suatu usaha pemberian bantuan yang diberikan baik kepada individu maupun kelompok dalam rangka memecahkan masalah yang dihadapi. Salah satunya dengan Terapi tingkah laku atau terapi behavioral yaitu penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar.[1] Teori menggunakan penerapan yang sistematis, yaitu perubahan tingkah laku dengan prinsip-prinsip belajar kearah yang lebih adaptif. Perilaku dipandang respon terhadap stimulasi atau perangsangan ekternal dan internal.[2]
Modifikasi tingkah laku telah memberikan pengaruh yang besar kepada lapangan pendidikan, terutama pada area pendidikan khusus yang menangani anak-anak yang memiliki masalah belajar dan tingkah laku. Salah satu aspek yang paling penting dalam gerakan modifikasi tingkah laku adalah penekananya pada tingkah laku yang bisa didefinisikan secara operasional, diamanati, dan diukur. Pendekatan behavioral tidak menguraikan asumsi-asumsi filosofis tentang manusia secara langsung. Pada dasarnya manusia dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan social budayanya, begitu pula dengan suatu keyakinan/keagamaan yang dia anut. Untuk itu pemakalah akan menguraikan teori pendekatan behavioral lebih lanjut pada pembahasan berikut.

II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Seperti apakah teori dasar terapi behavioral?
B.     Bagaimana peranan terapi Behavioral terhadap bimbingan konseling agama?

III. PEMBAHASAN
A.    Teori Dasar Terapi Behavioral
Behavioral atau behaviorisme adalah suatu pandangan ilmiah tentang perilaku manusia. Terapi behavioral berasal dari dua arah konsep yakni Povlovian dari Ivan Pavlov dan Skinnerian dari B.F Skinner.[3] Mula-mula terapi ini dikembangkan oleh Wolpe (1958) untuk mengulangi (treatment) neurosis. Neurosis dapat dijelaskan dengan mempelajari perilaku yang tidak adaktif melalui proses belajar. Dengan kata lain bahwa perilaku yang menyimpang bersumber dari hasil belajar di lingkungan.
Konstribusi terbesar dari konseling behavioral adalah diperkenalkannya metode ilmiah dibidang psikoterapi, yaitu bagaimana memodifikasi perilaku melalui rekayasa lingkungan sehingga terjadi proses belajar untuk perubahan tingkah laku.
Teori perubahan tingkah laku behaviorisme merupakan proses perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dengan respons yang menyebabkan klien mempunyai pengalaman baru. Aplikasinya dalam pembelajaran adalah bahwa konselor memiliki kemampuan dalam mengelola hubungan stimulus-respons dalam siatuasi pembelajaran sehingga hasil tingkah laku klien dapat optimal.[4] Dasar dari teori terapi behavioral adalah bahwa perilaku dapat dipahami sebagai hasil kombinasi belajar waktu lalu dalam hubungannya dengan keadaan serupa, keadaan motivasional sekarang dan efeknya terhadap kepekaan lingkungan, dan perbedaan-perbedaan biologis baik secara genetik  atau karena gangguan fisiologis.
Menurut Skinner bahwa 1) respon tidak perlu selalu ditimbulkan oleh stimulus, akan tetapi lebih kuat oleh pengaruh reinforcement (penguatan); 2) lebih menekankan pada studi subjek individual  daripada generalisasi kecenderungan kelompok; 3) menekankan pada penciptaan situasi tertentu terhadap terbentuknya perilaku daripada motivasi.[5]
Terapi tingkah laku berbeda dengan sebagian besar terapi lainnya, tandanya adalah a) pemusatan perhatian kepada tingkah laku yang tampak atau spesifik; b) kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment; c) perumusan prosedur treatment; dan d) penafsiran objetif atas hasil-hasil terapi. 
Terapi tingkah laku tidak berlandaskan pada sekumpulan konsep yang sistematik, melainkan bahwa kondisi-kondisi yang menjadi penyebab timbulnya masalah tingkah laku yang diidentifikasi sehingga kondisi-kondisi baru bisa diciptakan guna memodifikasi tingkah laku.[6] Masalah terapeutik utama adalah mengisolasi masalah tingkah laku dan kemudian menciptakan cara-cara untuk mengubahnya.
Pada dasarnya terapi tingkah laku diarahkan pada tujuan-tujuan memperoleh tingkah laku baru, penghapusan tingkah laku maladaptif, serta meperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang diinginkan. Terapi tingkah laku mengemasukkan criteria yang didefinisikan dengan baik bagi perbaikan maupun pernyembuhan, karena terapi tingkah laku menekankan evaluasi atas keefektifan teknik-teknik yang digunakan, maka evolusi dan perbaikan yang berkesinambungan atas prosedur-prosedur treatment menandai proses terapeutik.

B.     Peran terapi Behavioral Terhadap Bimbingan Konseling Agama
Setiap orang menurut Islam, pada dasarnya telah dikaruniai kecenderungan untuk bertauhid, mengesakan Tuhan yakni Allah SWT. Tegasnya dalam diri setiap manusia ada kecenderungan untuk meyakini adanya Allah dan beribadah kepada-Nya.[7] Kecenderungan tersebut adalah ‘fitrah’, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ  
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)  fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Kemudian ayat tersebut dijelaskan dalam hadits Muslim yang artinya: “Setiap orang dilahirkan ibunya dalam keadaan fitrah, setelah itu ayah-ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Maka jika kedua orang tuanya itu Muslim, maka (anak) akan menjadi seorang Muslim.” (HR. Muslim)

Dari kedua dalil tersebut, diketahui bahwa secara kodrati manusia memiliki fitrah untuk beriman kepada Allah, tetapi Karena faktor lingkungan maka fitrah tersebut bisa tidak berkembang sebagaimana mestinya, melainkan menyimpang kearah yang lain.
Menurut pendapat para ahli jiwa, bahwa yang mengendalikan kelakuan dan tindakan seseorang adalah kepribadiannya. Kepribadian tumbuh dan terbentuk dari pengalaman-pengalaman yang dilaluinya sejak lahir. Bahkan mulai dari dalam kandungan ibunya sudah ada pengaruh terhadap kelakuan si anak dan terhadap kesehatan mentalnya pada umumnya. Dengan memberikan pengalaman-pengalaman yang baik, nilai-nilai moral yang tinggi, serta kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan ajaran agama sejak lahir, maka semua pengalaman itu akan menjadi bahan dalam pembinaan kepribadian.[8]
Demikian dengan bimbingan konseling agama, yaitu membantu klien dalam menyelesaikan masalahnya yang berkaitan dengan agama yang tekanannya pada upaya kuratif atau pemecahanan masalah. Salah satunya adalah dengan pendekatan terapi behavioral yang lebih menekankan pada pemahaman tingkah laku melalui proses belajar. Adapun proses terapeutik dari behavior adalah sebagai berikut:
1.      Tujuan Konseling
Tujuan umum dari terapi behavioral adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasannya adalah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari, termasuk tingkah laku yang maladaptif. Terapi tingkah laku pada hakikatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang di dalamnya respons-respons yang layak yang belum dipelajari.[9]
Krumboltz dan Thorensen (dikutip dari Huber & Millman, 1972) telah mengembangkan tiga criteria bagi perumusan tujuan yang bisa diterima dalam konseling tingkah laku: 1) Tujuan yang dirumuskan haruslah tujuan yang diinginkan oleh klien, 2) konnselor harus bersedia membantu klien dalam mencapai tujuan, dan 3) harus terdapat kemungkinan untuk menaksir sejauh mana klien bisa mencapai tijuannya.[10] Dengan berfokus pada tingkah laku yang spesifik yang ada pada klien sekarang, konselor membantu klien menterjemahkan kebingungan yang dialaminya ke dalam suatu tujuan kongkrit yang mungkin untuk dicapai. Terapi ini ditandai oleh:
-          Fokusnya pada perilaku yang tampak dan spesifik.
-          Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatmen.
-          Formulasi prosedur treatment khusus sesuai dengan masalah khusus.
-          Penilaian objektif mengenai hasil konseling.

2.      Hubungan Klien dan Konselor
Dalam proses konseling, konselor memegang peranan aktif dan langsung. Hal ini bertujuan supaya konselor dapat menggunakan pengetahuan ilmiah untuk menemukan masalah-masalah klien sehingga diharapkan kepada perubahan perilaku yang baru.
Klien harus mampu berpatisipasi dalam kegiatan konseling. Ia harus memiliki motivasi untuk berubah, harus bersedia bekerjasama dalam melakukan aktivitas konseling, baik ketika berlangsungnya proses konseling maupun di luar proses konseling. Dalam hubungan konselor dengan klien ada beberapa hal yang harus dilakukan 1) konselor memahami dan menerima klien. 2) keduanya bekerjasama, 3) konselor memberikan bantuan dalam arah yang diinginkan klien.[11]  

3.      Fungsi dan Peran Konselor
Terapi behavioral harus memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment, yakni terapis menrapkan pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan-pemecahan bagi masalah-masalah pada kliennya. Terapi behavioral secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalam menentukan prosedur penyembuhan yang diharapkan dapat mengarah kepada tingkah laku adjustive. Goodstein (1972) menyebutkan peran konselor sebagai pemberi kekuatan. Menurutnya, peran konselor adalah menunjang perkembangan tingkah laku yang secara sosial layak dengan secara sistematis memperkuat jenis tingkah laku klien.
Satu fungsi penting peran konselor adalah peran terapis sebagai model bagi klien. Bandura menunjukkan bahwa sebagian besar proses belajar yang muncul melalui pengalaman langsung juga  bisa diperoleh pengamatan terhadap tingkah laku orang lain.

4.      Tekni-Teknik Konseling
Dalam kegiatan konseling behavioral tidak ada suatu teknik konselingpun yang selalu harus digunakan, akan tetapi teknik yang dirasakan kurang baik dieliminasi dan diganti dengan teknik yang baru. Adapun teknik-teknik yang digunakan dalam konseling behavioral adalah sebagai berikut:
1.      Desensitisasi  Sistematik
Desensitisasi sistematik adalah teknik yang paling luas digunakan dalam terapi tingkah laku. Teknik ini digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan ia menyertakan pemunculan tingkah laku atau respons yang, berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan. Desensitisasi diarahkan kepada mengajar klien untuk menampilkan suatu respons yang tidak konsisten dengan kecemasan. Selain itu juga melibatkan teknik relaksasi.

2.      Terapi Implosif dan Pembanjiran
Stampfl (1975) mengembangkan teknik yang  berhubungan dengan teknik  pembanjiran ,  yang disebut “Terapi Implosif”. Teori ini berasumsi bahwa tingkah laku neurotic melibatkan penghindaran terkondisi atas stimulus penghasil kecemasan.  Alasan yang digunakan teknik ini adalah jika seseorang berulang-ulang dihadapkan pada situasi penghasil kecemasan dan konsekwensi yang diharapkan tidak muncul, maka kecemasan akan terhapus. Terapi ini bisa disebut juga dengan suatu metode langsung  yang menantang pasien “untuk menatap mimpi-mimpi buruknya”.

3.      Latihan Asertif
Ditarapkan terutama pada situasi dimana individu mengalami  kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar. Di dalam terapi assertive konselor berusaha memberikan keberanian kepada klien dalam mengatasi kesulitan terhadap orang lain. Pelaksanaan teknik ini ialah dengan role playing (bermain peran).[12]

4.      Terapi Aversi
Teknik aversi adalah metode yang dimiliki oleh para behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai metode untuk membawa orang-orang kepada tingkah laku yang diinginkan. Teknik aversif sering digunakan dalam penanganan berbagai tingkah laku yang maladaptif.

5.      Pengondisian Operan
Tingkah laku operan adalah tingkah laku yang memancar yang menjadi cirri organism yang aktif. Ini adalah tingkah laku beroperasi di lingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat. Tingkah laku operan merupakan yang paling  berarti dalam kehidupan sehari-hari yang mencakup membaca, berbicara, berperilaku, dan lain sebagainya.

6.      Perkuatan Positif
Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul adalah cara yang ampuh untuk mengubah tingkah laku.

7.      Pembentukan Respons
Dalam pembentukan respons tingkah laku sekarang bertahab diubah dengan memperkuat unsure-unsur kecil dari tingkah laku baru yang diinginkan secara berturut-turut sampai mendekati tingkah laku akhir. Pembentukan respons berwujud pengembangan suatu respons yang pada mulanya tidak terdapat dalam perbendaharaan tingkah laku individu.



8.      Perkuatan Intermiten
Kekuatan intemiten digunakan secara bervariasi kepada tingkah laku yang spesifik. Tingkah laku yang dikondisikan oleh perkuatan intermiten pada umumnya lebih tahan terhadap penghapusan disbanding dengan tingkah laku yang dikondisikan melalui pemberian perkuatan yang terus menerus.

IV. KESIMPULAN
Teori perubahan tingkah laku behaviorisme merupakan proses perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dengan respons yang menyebabkan klien mempunyai pengalaman baru. Bimbingan konseling agama, yaitu membantu klien dalam menyelesaikan masalahnya yang berkaitan dengan agama yang tekanannya pada upaya kuratif atau pemecahanan masalah. Dengan pendekatan terapi behavioral yang lebih menekankan pada pemahaman tingkah laku melalui proses belajar, sangat berpengaruh terhadap perilaku beragama setiap orang, jadi dengan pendekatan ini diharapkan seorang klien mampu memahami tingkah lakunya dengan cara mempelajari setiap tingkah lakunya yang berhubungan dengan ajaran-ajaran agama di jalan Allah SWT sehingga bisa menjadi pribadi yang positif.

V.    PENUTUP  
Demikian makalah yang dapat pemakalah sampikan. Pemakalah menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih ada kesalahan dan kekurangan. Untuk itu pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk mencapai kesempurnaan dalam pembuatan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan pelajaran kepada kita semua. Amin....




[1]Geral Corey, Teori dan Praktek Konseling Dan Psikoterapi, (Bandung: PT Eresco, 1988), hal. 197.  
[2]Sofyan S. Willis, Konseling Individual Teori dan Praktrek, (Bandung: Alfabeta, 2004), hal. 69.
[3]Loc.cit, hal. 69.
[4]Farid Mashudi, Psikologi Konseling, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), hal. 55.  
[5]Sofyan Willis, Konseling Keluarga (Family Counseling), (Bandung: Alfabeta, 2009), hal. 105.
[6]Geral, Op.cit, hal. 200.
[7]Thohari Mustamar, Dasar-dasar Konseptual Bimbingan Dan Konseling Islami, (Yogyakarta: UII Press, 1992), hal. 139.
[8]Nelly Nurmelly dan Widyaiswara Muda, Perananagamadalambk.pdf. hal. 1.  
[9]Corey, Op.cit, hal. 202-203.  
[10]Ibid, hal. 204.  
[11]Willis, Op.cit, hal. 70-71.
[12]Ibid, hal. 73.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar