Kamis, 16 Januari 2014

Gender

AYAT-AYAT AL-QUR’AN DAN HADITS TENTANG GENDER

I.              PENDAHULUAN
Al-Qur’an mengungkapkan perbedaann mendasar antara laki-laki dan permpuan, tetapi masih perlu diteliti lagi. Gender dapat diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan perilaku. Secara umum, gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Hal ini berbeda dengan sex yang secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi, sehingga laki-laki dan perempuan tidak bisa disamakan secara total, karena pada akhirnya apabila hal penyamaan secara total itu terjadi maka akhirnya akan merugikan pihak perempuan. Namun dalam Islam permasalah gender menjadi berbelit-belit dengan melihat teks dalam al-Qur’an dan Hadits.


II.           RUMUSAN MASALAH
A.           Bagaimanakah asal usul penciptaan laki-laki dan perempuan?
B.            Bagaimanakah peranan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan?
C.            Seperti apakah bentuk kesetaraan antara laki-laki dan perempuan?
D.           Apakah perempuan tidak mempunyai hak dalam kepemimpinan?

III.        PEMBAHASAN
A.      Asal Usul Penciptaan Laki-laki dan Perempuan
Mengenai hal penciptaan pria dan wanita, sesungguhnya dalam al-Qur’an telah menyatakan bahwa sesungguhnya pria dan wanita sama dalam asal penciptaannya sebagaimana firman Allah:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZŽÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6ŠÏ%u 
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’: 1)
      Kemudian ayat ini diartikan dalam sebuah hadits riwayat Bukhori Muslim, yakni:

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَمُوسَى بْنُ حِزَامٍ قَالَا حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ مَيْسَرَةَ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ  تَرَكْتَهلَمْيَزَلْأَعْوَجَفَاسْتَوْصُوابِالنِّسَاء
Artinya: Dari Abi Hurairah: Nabi bersabda: berwasiatlah tentang perempuan, karena sesungguhnya mereka tercipta dari tulang, dan utlang yang paling bengkok adalah yang paling tertinggi. Jika engkau berusaha meluruskan berarti engkau merusaknya, jika dibiarkan akan tetap bengkok.
Hadis tersebut, walaupun sanad-nya shahih, tetapi memiliki matan yang berbeda-beda dan sulit untuk ditentukan mana matan yang benar. Namun demikian apabila ditempatkan dalam konteksnya secara tepat dan dipahami secara utuh dari keseluruhan matan yang ada-tidak hanya parsial kalimat perkalimat atau matan permatan, maka hadits-hadits tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan penciptaan awal perempuan. Hadis-hadis itu berisi pesan Nabi kepada kaum laki-laki waktu itu untuk berlaku baik kepada isteri-isteri mereka atau kepada kaum perempuan secara umum. Pesan Nabi tersebut salah satu manifestasi dari semangat ajaran Islam yang hendak menempatkan laki-laki dan perempuan secara sejajar.[1]
Berdasarkan hadits tersebut muncul berbagai penafsiran di kalangan jumhur ulama, berdasarkan surat an-Nisa’ ayat 1, ulama tafsir mengartikan bahwa wanita itu diciptakan dari tulang rusuk Adam, dan mengartikan kata nafs mengacu pada Adam, ada pula yang mengacu pada istri Adam, yaitu Hawa. Kemudian para mufassir masa lalu membuat kesan negatif terhadap wanita bahwa wanita itu berasal dari laki-laki. Akan tetapi hal ini disangkal oleh pakar tafsir kontemporer yang tidak sependapat dengan para mufassirin, mereka berpendapat berdasarkan surat al-Qiyamah ayat 37-39, yaitu: “Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim) (37). Kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya dan menyempurnakannya(38). Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang laki-laki dan perempuan(39).”
Allah juga menjelaskan dalam surat al-Hujurat ayat 13: “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.”
Dijelaskan pula bahwa Allah lah pencipta jiwa manusia baik laki-laki maupun perempuan, dengan penciptaan yang sama tanpa ada yang bengkok di dalamnya.[2] Dalam beberapa ayat Allah berfirman: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya).” (As-Syams: 7), “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (At-Tin: 4).
Allah telah menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam bentuk tanggung jawab terhadap apa yang terjadi pada fase penciptaan pertama.
B.       Peran Laki-Laki dan Perempuan dalam Kehidupan
Peranan wanita dan laki-laki adalah sama, hal ini terbukti dalam firman Allah: “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki dan perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An-Nahl: 97), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” (Al-Imran: 195).
Berdasarkan ayat tersebut, kadar kewajiban laki-laki dan perempuan untuk mempraktikkannya sama, kecuali bila diimplementasikan lain. Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan. Begitu pula beramal saleh, juga merupakan kewajiban bagi muslim laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, tidak benar jika sesungguhnya kaum perempuan tidak boleh keluar rumah untuk beramal dan merasakan pendidikan. Sebagaimana dalam firman Allah:
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 šcrâßDù'tƒ Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3ZßJø9$# šcqßJŠÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# šcqè?÷sãƒur no4qx.¨9$# šcqãèŠÏÜãƒur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNßgçHxq÷Žzy ª!$# 3 ¨bÎ) ©!$# îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÐÊÈ  
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. At-Taubah: 71)

    Ayat tersebut menjelaskan bahwa peran dan tanggungjawab perempuan dalam Islam adalah bertanggungjawab khusus yang berkaitan dengan urusan ibadah dan pribadi mereka, dan bertanggungjawab umum yaitu melaksanakan dakwah dan melibatkan diri dalam usaha amal kebajikan dan memberi bimbingan sosial di samping melakukan usaha-usah mencegah kemungkaran. Kedua tanggungjawab ini diberikan kepada kaum perempuan tanpa dibedakan dengan kaum laki-laki.[3] Begitu pula dalam bidang pendidikan, kerap kali perempuan dianggap tidak pantas berpendidikan tinggi. Islam mengajarkan kepada setiap orang tetang persamaan, persamaan yang dimaksudkan ialah bahwa perempuan tidak hanya bekerja di dalam rumah tangga saja, melainkan mereka juga berhak mengenyam pendidikan yang setara dengan kaum laki-laki, sebagaimana dalam suatu hadits Nabi saw, yaitu:
طلب العلم فريضة على كل مسلم

Artinya: “menuntut ilmu itu, wajib bagi setiap orang Islam.” (Ibn Majah)
               
    Dalam hal ini, menuntut ilmu menjadi tanggungjawab baik dari laki-laki maupun perempuan supaya mereka dapat melakanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya dengan pengetahuan yang dimilikinya.
    Kemudian dalam hal keluarga. Keluarga merupakan unit terbentuknya masyarakat terutama dalam pandangan Islam. Sebagaimana dalam firman Allah: “dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa rosul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (Ar-Ra’du: 38). Rosulullah saw bersabda: “pernikahan adalah sunnahku. Karena itu, barang siapa yang tidak mengamalkan sunahku, maka ia bukan termasuk golonganku (umatku).” Namun hal ini disalahgunakan para laki-laki dalam hal pernikahan, mereka sering melakukan poligami terhadap istri-istrinya berdasarkan surat An-nisa’ ayat 3: “maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi:dua, tiga, atau empat.”
    Berdasarkan ayat tersebut, sering kita tidak memperhatikan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, bahwa Allah Allah menjelaskan dalam surat tersebut: “kemudian, jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (An-Nisa’ ayat 3). Hal ini pun bertepatan dengan penjelasan terhadap wanita yatim, bukan pada posisi pologami itu sendiri.
Ath-Thabari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubair, Qatadah, As-Subdi dan lainnya, “Ada suatu kelompok yang takut berbuat sewenang-wenang terhadap harta anak-anak yatim, namun tidak takut berbuat lalim terhadap irtsi-istri mereka. Kemudian, ada yang mengatakan kepada mereka, “sebagaimana kalian takut bilamana tidak dapat berbuat adil terhadap istri-istri kalian.”[4] Maka berlaku adillah terhadap istri dan anak-anak, karena mereka juga mempunyai hak di dalam kehidupan.

C.      Kesetaraan Perempuan dengan Laki-laki
Kesan yang ditimbulkan dari pemahaman Islam tradisional adalah kuatnya hegemoni kaum pria terhadap kaum wanita.[5] Hal ini ditunjukkan dengan institusi poligami yang didominasi kaum laki-laki, kepemimpinan yang dikhususkan di tangan pria, harga kaum wanita yang setengah dari harga pria dalam kesaksian, akiqah, dan warisan.
Gambaran seperti inilah yang sering menjadi target sasaran bagi gerakan kesetaraan gender yang selalu menuding bahwa Islam memperlakukan kaum wanita dengan cara yang tidak adil. Merespon isu tetang kesetaraan antara pria dan wanita, Munawir Sadzali dalam upayanya mengangkat harkat dan martabat wanita dalam Islam menyatakan bahwa menurut Islam, kedudukan pria dan wanita itu sama. Dia mendasarkan pernyataan itu dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ  

Artinya: “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu (terdiri) dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu bebangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertakwa.”
            Ayat di atas dijadikan dasar oleh orang Islam, bahwa Islam mengajarkan prinsip persamaan derajat berdasarkan kebangsaan, kesukuan, dan keturunan. Dihadapan Allah semua manusia itu mempunyai kedudukan yang sama antara satu dengan yang lain dan yang membedakan tingkat antara mereka adalah kadar ketakwaan kepada Allah.
Sebagaimana hadits rosulullah: Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rosulullah bersabda: “orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.”

Tokoh lain yang lebih dikenal sebagai mufassir Indonesia kontemporer, Quraish Shihab juga mengangkat ayat 13 dari surat Al-Hujurat:13 dari surat Al-Hujurat ini ketika membicarakan tentang kedudukan perempuan diperkuatnya dengan surat Al-Nisa: 1 yang berbicara tentang proses terciptanya perempuan.
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZŽÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6ŠÏ%u  
Quraish Shihab menunjukkan kecenderungan bahwa penciptaan laki-laki dan perempuan adalah dari unsur yang sama. Kemudian ia mengemukakan surat Ali-Imran: 195 sebagai usaha Al-Qur’an untuk mengikis habis semua tanggapan yang membedakan laki-laki dengan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan.
Secara lebih spesifik Satori menekankan bahwa Islam telah mengangkat harkat perempuan. Al-Qur’an menegaskan kemanusiaan perempuan dan kesejajarannya dengan laki-laki (Al-Hujurat: 13); perempuan dan laki-laki diciptakan dari unsur tanah yang sama dan dari jiwa yang satu. (Al-A’raf: 189); proses dan fase pembentukan janin laki-laki dan perempuan tidak berbeda (Al: Qiyamah: 37-39); islam menjamin kebahagiaan di dunia dan akhirat bagi perempuan bila komitmen dengan iman dan menempuh jalan yang shaleh, seperti halnya dengan laki-laki. (Al-Nahl: 97); perempuan yang dilakukan perempuan setara dengan apa yang dilakukan laki-laki. Amal masing-masing dihargai oleh Allah (Ali-Imran : 195); perempuan adalah makhluk yang menyertai laki-laki di dunia dan juga akhirat (Al-Nisa: 124); ayat-ayat Al-Qur’an berbicara baik pada laki-laki maupun perempuan.

D.      Kepemimpinan Perempuan dan Laki-laki
Masdar F. Mas’udi menerangkan bahwa Islam datang di tengah-tengah masyarakat yang secara mendasar memandang rendah kaum wanita, karena dua asumsi berbeda tapi saling memperkuat. Pertama asumsi materialistic masyarakat yang menempatkan kaum wanita pada posisi rendah karena sedikitnya peranan mereka dalam proses produksi dan ekonomi. Kedua, asumsi teologis yang dianut masyarakat Madinah dipengaruhi oleh ajaran agama yang mereka anut, perempuan dipandang rendah dibandingkan laki-laki.[6]
Dalam kehidupan nyata masyarakat Islam umumnya berpegang pada pendapat popular yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh diangkat sebagai pemimpin. Hal ini disandarkan pada hadits Nabi yang berbunyi:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَل اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَة
Artinya :Dari Bakrah diriwayatkan bahwa ketika Nabi mendengar bahwasanya Kaisar Persia diganti dengan perempuan maka Nabi bersabda: “Tidak akan sukses suatu kaum yang dipimpin oleh perempuan.” (Sahih Bukhari Kitab al-Maghazim, bab kitab al-Nabi ila kisra wa Qaishar no 4073).
    
     Hadits di atas, menurut Quraish Shihab tidak bersifat umum. Buktinya hadits tersebut merupakan respon nabi terhadap masyarakat Persia, bukan pada masyarakat pada umumnya. Disamping itu banyak ayat yang memperbolehkan keterlibatan perempuan dalam bidang politik, sebagai mana firman Allah:

tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 šcrâßDù'tƒ Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3ZßJø9$# šcqßJŠÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# šcqè?÷sãƒur no4qx.¨9$# šcqãèŠÏÜãƒur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNßgçHxq÷Žzy ª!$# 3 ¨bÎ) ©!$# îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÐÊÈ  
Artinya: “dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

     Secara umum laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam setiap aspek kehidupn, seperti seruan untuk berbuat yang ma’ruf dan menjauhkan yang mungkar.[7] Ha ini diperkuat sebuah hadits:
من لم يهتم بامر المسلمين فليس منهم

Artinya: “Barang siapa yan tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka.”

     Hadits tersebut ditujukan kepada laki-laki maupun perempuan karena latar elakang pendidikannya termasuk dalam bidang politik. Suatu fatwa sejarah bahwa Aisyah ra. Istri Rosulullah memimpin pasukan dalam perang Jamal (656 M) melawan khalifah Ali bin Abi Thalib. Keterlibatan Aisyah dalam peperangan itu menunjukkan partisipasi kaum muslimah dalam bidang politik praktis sekalipun.
     Dari Ibnu ‘umar ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: “setiap orang diantara kalian adalah pemimpin, dan msing-masing dari kalian bertanggungjawab terhadap apa yang dipimpinnya.seorang penguasa adalah pemimpin, seorang laki-laki pemimpin bagi seluruh anggota rumahnya, wanita juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anaknya. Dengan demikian, masing-masing kalian adalah pemimpin dan masing-masing kalian bertanggungjawab yang dipimpinnya.”
     Berdasarkan hadits tersebut, bahwa tanggungjawab seorang pemimpin dalam sebuah masyarakat bersifat umum, dan masing-masing sesuai dengan kemampuannya, karena setiap muslim ibarat berjaga disetiap lubang yang akan diterobosi, maka mereka akan diserang dari lubang tersebut.


IV.        KESIMPULAN
Mengenai hal penciptaan pria dan wanita, sesungguhnya dalam al-Qur’an telah menyatakan bahwa sesungguhnya pria dan wanita sama dalam asal penciptaanny dan juga Allah telah menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam bentuk tanggung jawab terhadap apa yang terjadi pada fase penciptaan pertama.
Peranan wanita dan laki-laki adalah sama, hal ini terbukti dalam firman Allah: “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki dan perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An-Nahl: 97), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” (Al-Imran: 195).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa peran dan tanggungjawab perempuan dalam Islam adalah bertanggungjawab khusus yang berkaitan dengan urusan ibadah dan pribadi mereka, dan bertanggungjawab umum yaitu melaksanakan dakwah dan melibatkan diri dalam usaha amal kebajikan dan memberi bimbingan sosial di samping melakukan usaha-usah mencegah kemungkaran. Secara umum laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam setiap aspek kehidupn, seperti seruan untuk berbuat yang ma’ruf dan menjauhkan yang mungkar.

V.           PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampikan. Pemakalah menyadari bahwa dalam penyusunan makalah yang telah pemakalah buat ini masih ada kesalahan dan kekurangannya. Untuk itu pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang  bersifat membangun untuk mencapai kesempurnaan dalam pembuatan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan pelajaran kepada kita semua. Amin.......




[2] Muhammada Haitsam Al-Khayyath, Problematika Muslimah Di Era Modern, (Jakarta: Erlangga, 2007), hal. 34.
[3] Kamarul Azmi Jasmi, dkk, Wanita dalam Dakwah dan Pendidikan, (Malaysia: University Teknologi Malaysia, 2008), hal. 3.
[4] Lop.cit, hal. 222.
[5] Faisar Ananda Arfa, Wanita dalam Konsep Islam Modernis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hal. 100.
[6] Ibid, hal. 107.
[7] Agus Purwadi, Islam & Problem Gender, (Yogyakarta: Aditya Media, 2000), hal. 103. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar